Kemarau panjang yang menimpa Indonesia khusunya Jawa Timur, berdampak kekeringan dengan sulitnya mencari air minum. Hal ini disebabkan sumur-sumur mengering. Karena berbagai sebab itulah pemerintah berencana membuat hujan buatan. Bagaimana proses atau cara untuk membuat hujan buatan ini ? Sebagian orang mengira bahwa hujan buatan adalah manusia membuat hujan dengan kepandaiannya atau dengan ritual khusus, padahal semua itu salah.
Hujan buatan adalah hujan yang dibuat oleh campur tangan manusia dengan
membuat hujan dari bibit-bibit awan yang memiliki kandungan air yang
cukup, memiliki kecepatan angin rendah yaitu sekitar di bawah 20 knot,
serta syarat lainnya. Ujan buatan dibuat dengan menaburkan banyak garam
khusus yang halus dan dicampur bibit / seeding ke awan agar mempercepat
terbentuknya awan jenuh. Untuk menyemai / membentuk hujan deras,
biasanya dibutuhkan garam sebanyak 3 ton yang disemai ke awan potensial
selama 30 hari. Hujan buatan saja bisa gagal dibuat atau jatuh di tempat
yang salah serta memakan biaya yang besar dalam pembuatannya.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan
buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dengan
bentuknya yang seperti bunga kol. Awan Cumulus terjadi karena proses
konveksi.
Awan Cumulus terbagi dalam 3
jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang baru tumbuh ;
Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan
mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.
Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan
Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan
Ada beberapa metode untuk menyemai
bahan semai kedalam awan . Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah
menggunakan pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang,
modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan
menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG)
pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga
menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan.
Di
Indonesia, sejak tahun 1998 BPPT dan PT. INCO bekerja sama dengan
perusahaan dari Amerika memakai metode penyemain awan dengan teknologi flare perak iodida.
Dengan
teknologi ini, pesawat yang dibutuhkan untuk menemai awan tidak perlu
besar, cukup pesawat kecil yang dilengkapi dengan 24 tabung flare perak
iodida yang di pasang di sayap pesawat terbang dan bak peluncur roket.
Setelah
posisi awan, arah dan keepatan angin diketahui pesawat pun menuju awan
potensial dan flare pun mulai dinyalakan dengan mematik listrik otomatis
dari kokpit pesawat. Setelah itu tinggal menunggu hasilnya. Jadi, hujan buatan bukan 100 % buatan manusia tanpa kehendak Allah. Bagiamanapun kepandaian manusia, tak dapat menandingi ciptaan Allah.