Showing posts with label Sejarah dan Budaya. Show all posts
Showing posts with label Sejarah dan Budaya. Show all posts

Heboh, Penemuan batu lempeng terpahat ornamen kuno watu ukir sepanjang hampir 200 m di Bojonegoro

 


Baru-baru ini warga Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro dihebohkan dengan penemuan batu yang permukaannya terpahat ukiran dan berbentuk seperti pecahan tembok memanjang ke arah timur. Permukaan pada batu ini penuh lekukan seperti sengaja di pahat atau diukir pada masa lampau. Batu berukir inilah yang kemudian oleh warga disebut “Watu Ukir” atau Batu Ukir. Lokasi penemuan watu ukir ini berada di dekat Puncak obyek wisata Guyangan Park

Kronologi penemuan

Ketika itu seorang warga sedang menggarap lahan jagung dan beliau dikejutkan dengan adanya batu dengan ornamen yang membentuk pola tertentu yang sedang terjungkal di lereng. Setelah di amati, ternyata ornamen atau pola yang terukir pada batu itu tidak hanya ada pada satu batu, tetapi juga terdapat pada batu yang lain. Bahkan, batu-batu dengan ukiran  tersebut, membujur hingga 100 m ke arah timur namun tertutup tanah. Kontan saja apa yang dilihatnya ini lantas menjadi perbincangan dan banyak yang penasaran dengan batu tersebut karena banyak yang memfoto dan mang-uploadnya di medsos.

Penemuan Watu Ukir ini terjadi sekitar Desember 2020. Namun, hingga sekarang belum ada yang mampu menjawab mengenai seluk beluk dan sejarah Watu Ukir ini secara ilmiah.

Menurut Pak Paryono, seorang warga sekitar lokasi menuturkan bahwa memang dahulu lokasi sekitar penemuan watu ukir tersebut di kenal dengan watu kelir. Yang artinya lokasi yang memiliki nilai sejarah yang di sakralkan. Namun, tidak jelas mengenai era kerajaan apa. Beberapa warga yang lain menuturkan bahwa sesuatu yang  masa lampau dikaitkan dengan Majapahit. Maklum, keterbatasan informasi dan penelitian memang menjadi kendala warga.

Video Penemuan Watu Ukir ini juga dapat anda saksikan di channel Youtube ASSAMEDA.

Bagi saya sendiri, ada 2 kemungkinan mengenai watu ukir ini, antara lain : 

  1. Sengaja dipahat /diukir oleh manusia di masa lampau
  2. Ukiran alam atau pola pahatan yang timbul akibat pengaruh cuaca /perubahan iklim alam serta peristiwa alam yang menjadikannya membentuk ornamen pahatan.

Pengamatan pihak terkait juga belum ada. Hal ini juga karena faktor akses menuju lokasi yang jauh dari perkampungan warga. Untuk mencapainya juga kondisi jalan lumayan sulit, kecuali tahun 2024 ini yang mulai ada pembangunan jalan beraspal yang mudah untuk dilalui hingga sampai ke lokasi.

Bagaimana menurut anda ? Tulis di kolom komentar !

Berikut adalah foto dokumentasi Watu Ukir








Bagaimana menurut anda ? Tulis di kolom komentar !


 

Download Buku Kitab Serat Primbon Jangka Jayabaya terjemah Bahasa Indonesia


Jayabaya adalah seorang tokoh yang di percaya sebagai seorang pemimpin kerajaan Kediri. Banyak orang meyakini bahwa Serat Jayabaya Jangka Sengkala merupakan manuskrip kuno yang masih relevan dengan kehidupan sekarang. Terlebih masyarakat jawa yang sebagian besar masih menjunjung tinggi ajaran luhur nenk moyangnya.

Tulisan Jayabaya ini berbahasa Jawa  dan berbentuk prosa. Beberapa menyebutnya sebagai ramalan Joyoboyo. Namun, menurut saya, sebenarnya bukan ramalan. Tetapi, tata krama kehidupan dan ajaran nilai-nilai luhur yang harus di pegang teguh oleh umat manusia dalam berkehidupan agar selalu selaras dan seimbang dengan alam dan Sang Pencipta.

Berikut adalah Primbon Jangka Jayabaya Terjemah Bahasa Indonesia agar para pembaca mudah untuk memahami dan mengerti maksudnya. Kitab ini, admin peroleh dari seorang keturunan (cucu) almarhum pelaku spiritual yang menyimpan Kitab ini secara turun temurun. Kakeknya di masa kemerdekaan (1945) hingga semasa hidupnya, memang terkenal sebagai seorang tokoh desa yang memegang kendali pemikiran warga (menjadi tokoh yang disegani). Panjang sebenarnya kisahnya, namun untuk menjaga privasi kami tidak mengutarakannya terlalu panjang lebar.

Berikut adalah Primbon Jayabaya yang telah kami scan agar mudah di baca



>

Perbedaan Baju Tradisional Ponorogo dan Madura

Pada artikel sebelumnya, kita membahas mengapa Baju Tradisional Madura dan ponorogo yang sangat mirip. Bahkan makanan khas Madura dan Ponorogo juga mirip, yakni Sate Ayam.



Meski Nampak serupa, namun ternyata Baju Tradisional Ponorogo dan Madura terdapat perbedaan-perbedaan. Nah, berikut adalah perbedaannya :

Mengapa Baju adat Ponorogo dan Madura Sama ?

Ponorogo dan Madura memang berada dalam 1 provinsi, yakni Jawa Timur. Namun, meski 1 provinsi, Bahasa daerahnya pun tak sama. Ponorogo berbahasa Daerah Jawa Mataraman, sedangkan Madura berbahasa daerah Madura. Kedua wilayah ini meski berbeda namun ternyata memiliki irisan latar belakang Sejarah yang sama. Untuk mengulasnya, kita mulai dari versi Tulisan Babad Ponorogo karya Purwowidjoyo yang terdiri dari beberapa jilid, secara ringkas dapat ditarik kesimpulan :

Ada 4 komunitas yang menjadi penduduk awal Ponorogo yakni :

  1. Keluarga Pejabat/ punggawa Kerajaan Majapahit atau Keluarga Raden Bathara Katong

  2. Keluarga dari Purworejo (Bagelen) yang merupakan keluarga dari Ibunda Raden Bathara Katong (Nyai Ageng Bagelen)

  3. Santri Demak yang dikirim oleh Raden Patah ke Wilayah Ponorogo untuk menyebarkan agama Islam yang menurut beberapa catatan disebutkan berjumlah 40 keluarga

  4. Orang-orang yang berasal dari Madura 

Perlu di ketahui bahwa keempat komunitas ini telah beragama Islam, karena sudah pada masa akhir dari Kerajaan Majapahit. Pada masa itu orang-orang Majapahit sudah banyak yang beragama islam.

Lantas, mengapa orang-orang madura datang ke Ponorogo ?

Raden Bathara Katong memang memiliki saudara Kandung yang menjadi pimpinan di wilayah Sumenep Madura.

Dalam catatan Babad Ponorogo disebutkan bahwa :

Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit menikah dengan Puteri Bagelen Purworejo yang akhirnya menurunkan

  1. Raden Bathara Katong sebagai penguasa di Wilayah Ponorogo
  2. Raden Jaran Panole yang popular juga disebut Joko Thole sebagai penguasa di Wilayah Sumenep Madura.

Nah, catatan tersebut selaras dengan catatan Karya Raden Werdisastra dalam Babad Sumenep.  Disana disebutkan bahwa Joko Thole berasal dari Kerajaan Majapahit yang kemudian tinggal di Sumenep. Joko Thole sendiri berarti Pangeran dari Jawa atau Pangeran dari Majapahit. Hal ini juga di kisahkan dalam Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram) yang diterjemahkan oleh Dr. Soewito Santoso (1927).

Bukan orang Majapahit kalau tidak sakti mandraguna, begitu juga dengan Bathara Katong dan Joko Thole.  Kuda tunggangan Joko Thole yang Bernama “Mega Remeng” konon dapat terbang ke angkasa dan berlari kencang seperti angin. Kemasyhuran Kesaktian Joko Thole sangat disegani baik kawan maupun lawan, sehingga Joko Thole juga dijuluki Raden Jaran Panole. Jaran yang berarti Kuda ini lantas di jadikan lambang Kabupaten Sumenep. Lambang Kuda Terbang ini menjadi kebanggaan warga.

Nah, karena persamaan lartar belakang Sejarah antara Ponorogo dan Madura inilah, yang seiring waktu membawa budaya. Termasuk baju tradisionalnya. Meskipun secara detail terdapat perbedaan, namun secara garis besar sama.

Sehingga tak heran garis merah dan putih yang melambangkan majapahit juga terbawa. Inilah keunikan sebuah seni dan budaya yang dalam perkembangannya akan mengalami akulturasi dan terus berkembang.

Lalu, apa bukti arkeologis bahwa orang-orang Madura ini berada di Ponorogo ?

Pada tahun 1486 Raden Bathara katong mendirikan Kota Ponorogo. Dalam catatan disebutkan,  secara resmi Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496.

Raden Bathara Katong sebagai seseorang ahli politik berusaha menguatkan wilayahnya dengan mempersatukan 3 komunitas lainnya melalui perkawinan politik.

  1. Menikahi putri demak, hal ini untuk mempersatukan penduduk ponorogo yang berasal dari demak
  2. Menikah dengan Puteri Pamekasan Madura, untuk mempersatukan penduduk Ponorogo yang berasal dari Madura
  3. Menikah dengan puteri bagelen purworejo, untuk mempersatukan penduduk ponorogo yang berasal dari purworejo.

Disamping itu, Setelah berhasil mengalahkan Ki Ageng Kutu (Penguasa Surukubeng Kutu), Raden Bathara Katong menikahi Puteri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini. Melalaui perkawinan Politik inilah semua penduduk Ponorogo menjadi satu untuk tidak terpecah belah.



bukti arkeologi bahwa orang-orang Madura tinggal di Ponorogo dapat kita saksikan pada kompleks Makam Setono, tepatnya di cungkup sebelah timur. Disanalah terdapat Makam Eyang Puteri Pamekasan Madura. Di dalam Cungkup tersebut berurutan makam ke empat istri Bathoro Katong. Mulai dari sisi barat Yakni ; Makam putri dari Demak, dari Bagelen, dari Pamekasan Madura dan paling timur merupakan makam Niken Gandini (putri Ki Ageng Kutu). Nah, bukti arkeologi inilah yang menjadi bukti bahwa orang-orang Madura memiliki keterkaitan dengan Ponorogo.

sudah terjawab kan, teka-teki mengapa antara Ponorogo dan Madura memiliki kemiripan ?

Untuk lebih jelasnya, anda dapat menonton videonya di Youtube channel ASSAMEDA.

meski begitu, baju tradisional Ponorogo dan Madura sebenarnya memiliki perbedaan. Perbedaan Baju Ponorogo dan Madura tersebut dapat anda baca pada artikel berikut. KLIK DISINI !


Sejarah Keris Kyai Sengkelat, Wabah Penyakit Majapahit dan Perebutan Keris dari Blambangan

 


Keris Kyai Sengkelat, keris ini memiliki aura kharismatik dan melegenda. Banyak kisah tentang tuah Keris ini. Keris ini juga di perebutkan oleh para Raja-raja Jawa. Bahkan hingga dimiliki juga hingga Raja pulau sebrang. Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan diri atau senjata, tetapi juga sebagai simbol kekuasaan, martabat, dan kharisma seseorang atau tokoh tertentu.

Keris Kyai Sengkelat adalah keris sakti ini diberi nama oleh oleh Sunan Kalijaga, yang dibuat oleh Ki Supa Mandrangi, seorang empu atau pandai besi yang sangat ahli membuat keris.

Ki Supa Mandrangi adalah putra dari Empu Supa, empu dari kerajaan Majapahit yang terkenal. Anda dapat menyaksikan video salah satu tempat menempa keris Empu Supa di channel youtube ASSAMEDA dalam judul Sumur Blukuthuk Khayangan Api dan Keris Empu Supa atau klik link berikut.



Berbeda dengan keris lainnya, Keris Kyai Sengkelat dibuat dari bahan besi Akadiyat yang sangat langka dan tak biasa. Bahan besi ini tidak bisa ditempa dengan api, melainkan hanya dengan dipijat-pijat dengan tangan. Sehingga hanya Ki Supa Mandrangi yang memiliki kemampuan sakti untuk memijat bahan besi tersebut hingga menjadi keris yang indah dan berkualitas.

Keris Kyai Sengkelat memiliki warna kemerah-merahan dan luk 13.

Warna merah melambangkan keberanian dan semangat juang, sedangkan liuk 13 melambangkan jumlah wali yang menyebarkan Islam di Jawa.

Keris ini juga memiliki tuah atau khasiat yang luar biasa, yaitu bisa menangkap kilat dan mengusir wabah penyakit, hal ini pernah digunakan untuk mengusir wabah penyakit yang menimpa kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V.

Saat itu, Kerajaan Majapahit memiliki keris Kyai Condong Campur yang merupakan keris pemersatu bangsa yang dibuat oleh 100 empu dari berbagai daerah. Namun, dibuat dari besi yang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan makhluk hitam, sehingga memiliki hawa negatif dan justru menimbulkan wabah  penyakit.

Keris Condong Campur yang awalnya bertujuan untuk mengatasi perselisihan antara golongan atas dan golongan bawah di Majapahit, malah menimbulkan bencana wabah penyakit yang sangat ganas dan mematikan bagi rakyat dan kerajaan.

Banyak rakyat jelata yang meninggal karena sakit. Bahkan putri kesayangan Prabu Brawijaya V, Ayu Sekar Kedaton, juga jatuh sakit parah.

Prabu Brawijaya V sudah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan putrinya dan menghentikan wabah tersebut, tetapi tidak berhasil, bahkan sudah memanggil tabib dari berbagai Kerajaan lain.

Akhirnya, Prabu Brawijaya V meminta bantuan kepada Sunan Kalijaga, salah satu wali yang dihormati oleh rakyat Majapahit.

Sunan Kalijaga datang ke istana Majapahit membawa keris Kyai Sengkelat. Ia mengeluarkan keris tersebut dari sarungnya dan mengayunkannya ke udara sambil berdoa kepada Allah. Tiba-tiba, langit menjadi gelap dan petir menyambar-nyambar. Kilat-kilat itu tertangkap oleh keris Kyai Sengkelat dan disalurkan ke tanah. Setelah itu, hujan turun dengan derasnya dan membersihkan udara dari kotoran dan penyakit. Sehingga wabah penyakit pun berakhir dan Prabu Brawijaya V sangat berterima kasih kepada Sunan Kalijaga. Namun, Sunan Kalijaga mengatakan bahwa ini semua atas pertolongan Allah SWT.

Disisi lain Keris Kyai Sengkelat pernah menjadi pusaka Raja-raja Jawa.

Kisah ini berawal setelah keris tersebut selesai dibuat oleh Ki Supa. Beliau menyerahkan keris yang bariu selesai dibuatnya itu kepada Sunan Kalijaga. Namun ternyata keris tersebut tidak cocok bagi ulama dan Sunan Kalijaga meminta Ki Supa untuk menyimpannya dan berpesan agar nanti memberikan keris tersebut kepada raja-raja Pulau Jawa. 

Keberadaan keris sakti Kyai Sengkelat diketahui oleh Raja Blambangan atau Siung Lautan. Ia tahu bahwa seseorang yang memegang keris tersebut tidak akan terkalahkan dan menjadi penguasa Jawa. 

Selanjutnya Raja memanggil seorang pencuri sakti bernama Celuring. Ia diperintahkan oleh raja untuk mencuri keris Kyai Sengkelat dari genggaman Ki Supa. Keris Kyai Sengkelat ini dengan mudahnya jatuh berpindah langsung ke tangan Raja Blambangan. Karena telah berhasil mencuri keris tersebut, Celuring mendapat imbalan dari Raja dengan mengangkatnya sebagai patih di Blambangan.

Disisi lain, Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Celuring telah mencuri keris yang membuatnya takjub itu. Selanjutnya ia memerintahkan Ki Supa agar dapat mengambil kembali keris tersebut. karena Sunan Kalijaga khawatir akan terjadi malapetaka apabila keris tersebut dipegang sembarang orang. 

Ki Supa berangkat ke Blambangan dengan menyamar dan mengganti namanya menjadi Ki Pitrang. Sesampainya di Blambangan, ia bekerja pada Mpu Sarap, seorang pandai besi wilayah Blambangan. Tetapi keahlian Ki Pitrang jauh lebih hebat dalam membuat keris.

Seiring waktu, akhirnya raja Blambangan mengetahui  bahwa ada seseorang empu yaitu Ki pitrang yang sangat ahli membuat keris. Ki Pitrang diminta untuk membuat keris yang serupa dengan keris Kyai Sengkelat. 

Singkat cerita, raja Blambangan memberikan keris Kyai Sengkelat sebagai contoh. Hal ini menjadi kesempatan bagi Ki Supa untuk membuat dua buah keris tiruan Kyai Sengkelat yang bentuknya mirip. Ki Supa juga berhasil menyimpan keris Kyai Sengkelat yang asli dan kembali menemui Sunan Kalijaga untuk menyerahkan keris tersebut. 

Karena kerja kerasnya tersebut, Ki Supa diangkat menjadi Adipati di Sedang Sedayu dan dinikahkan dengan putri raja bernama Retna Sugiyah. Pernikahan tersebut dikaruniai anak bernama Jaka Sura.

Anda dapat menonton video Kethoprak Keris EMPU SUPA KEMBAR dengan klik link berikut.

Setelah Sunan Kalijaga berhasil mendapatkan kembali keris Kyai Sengkelat, ia langsung menyerahkan keris tersebut kepada Adipati Natapraja untuk dibawa ke Palembang. Sunan Kalijaga memerintahkan Adipati Natapraja untuk memberikan kerisnya kepada Raden Patah, anak sulungnya. Raden Patah merupakan seorang anak dari Raja Brawijaya kerajaan Majapahit. Beliau juga yang akhirnya melahirkan raja-raja Jawa berikutnya. 

Sejarah dan Asal-usul Desa Dungmiri Kecamatan Karangjati Kabupaten Ngawi

Desa Dungmiri secara admnistratif masuk dalam wilayah kecamatan karangjati Kabupaten ngawi. Desa dungmiri terbagi mendadi 3 dusun. Yakni : 
  1. Dusun Dungmiri 1,
  2. Dungmiri 2,
  3. Dusun Klanding



Sejarah mengenai asal usul Desa Dungmiri tak lepas dari cerita turun-menurun yang diceritakan dari generasi ke generasi. Keberadaan Desa Dungmiri juga tak lepas dari keterkaitan dengan pengembara atau pembabat hutan di wilayah ini yang dikisahkan berasal dari daerah mataram atau sekitar Gobrogan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat jawa, sering menamai suatu wilayah dengan peristiwa, kondisi geografis ataupun apa yang dilihatnya saat membabat hutan. Begitu juga dengan Dungmiri, yang berasal dari penggabungan 2 kosakata, yakni dung yang berarti kedung dan miri yang berarti buah kemiri. Sebutan ini berarti dahulu ada sebuah kedung / kali yang sangat dalam dan banyak ditumbuhi tanaman kemiri di sekitar kedung tersebut. Hal ini seperti di ceritakan kebnyakan orang tua atau sesepuh di Desa ini. Bahwa dahulu memang banyak tumbuhan kemiri di sekitar belakang Kantor Desa yang sekarang.
Lalu, dimanakah posisi Kedung (kali yang dalam) sekarang ?
Posisi struktur tanah seperti bekas sungai (kali) dapat kita temukan di belakang Kantor Desa. Hal ini, juga menguatkan dugaan tempat tumbuhnya tanaman kemiri di sekitar kali yang berada di belakang Kantor Desa. Namun, konon DUNGMIRI hanyalah sebutan suatu wilayah berdasarkan apa yang dilihat mata, karena ada sungai dan tanaman kemiri disitu."ujar sesepuh Desa.
Dalam Catatan dari masa ke masa menyebutkan bahwa Desa Dungmiri, telah mengalami 7 kali periode pergantian kepala Desa. Yang masyarakat sering menyebutnya lurah.
Berikut adalah nama-nama lurah/ Kepala Desa Dungmiri dari Era Belanda hingga sekarang. 
  1. Mbah Gempo (sekitar tahun 1840-1881)
  2. Karto Drono ( Pasiyun) (sekitar tahun 1881-1920)
  3. Karto Wiyoto (1920—1962)
  4. Hadi Suprapto (Siyun) (1962—1989)
  5. Gunadi Hartono (1990-1998)
  6. Bambang Supariyanto (1999-2013)
  7. Sri Kasiyanto (2013 – sekarang)

Desa Dungmiri juga menyimpan berbagai tempat yang dianggap bernilai sejarah oleh warga setempat. Situs kuno dan bernilai sejarah ini beberapa diantaranya memang dikeramatkan. Antara lain :
1. Sumur Tulakan,












Sumur ini kini kurang terawat dan hanya bertandankan Ontang Sumur model lawas (Sumur Oklek). Lokasinya berada di belakang Kantor Desa. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa jika mendirikan rumah, beberapa warga kerap mengambil air dari sumur tulakan ini. Mereka percaya bahwa, lantaran air sumur tulakan ini dapat menolak balak atau bencana dan mendekatkan pada kehidupan yang lebih baik. Namun, semua atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

2. Sumur sendang sogo,












Sumur ini juga merupakan sumur yang sudah ada sejak zaman dahulu. Keberadaannya juga menjadi saksi sejarah atas adanya desa Dungmiri, Airnya jernih dan sumber airnya masih mengalir hingga saat ini.

3. Asem pendowo,
Pohon Asem dengan cabang dahan utama berjumlah 5 ini menurut warga memang tak pernah tumbuh meninggi. Tinggi pohon dari dulu hingga sekarang sama, dan banyak pengakuan dari para Pendaki Gunung Lawu (Jalur Spiritual) mengatakan bahwa Pohon ASEM Pendowo ini kelihatan dari Gunung Lawu padahal pohon ini tidak begitu tinggi. Pohon Asem Pendowo ini berada di makam Desa Dungmiri 1 (Makam Utara).

4. Makam-makam lurah terdahulu. 

Makam Lurah Pertama berada di Makam Dungmiri 2 (Makam Selatan). Makam lurah kedua, ketiga, dan ke-empat berada di Makam utara (Makam Dungmiri 1) dan semuanya masih terawat dengan baik. Mbah Gempo, merupakan lurah pertama. Mbah Gempo sendiri merupakan tokoh yang diceritakan dahulu berasal dari dusun Klanding. Namun, karena terjadi pageblug atau wabah saat itu lantas beliau berpindah ke wilayah Dusun Dungmiri. Hal ini berdasarkn cerita turun menurun.

Desa Dungmiri di era sekarang masih mempertahankan nilai-nilai luhur dan menjunjung budaya warisan nenek moyang. Acara Bersih Desa setiap tahun juga digelar dengan acara selamatan, pengajian kirim do’a kepada arwah leluhur, dan pagelaran seni tayub. Semangat kerukunan dan Gotong royong masih terus dijaga di tengah kehidupan modern. Kolaborasi pemerintahan desa dan warganya menjadi modal penting untuk terus membangun desanya.

Muh Arif Efendi, penulis, dengan berbagai sumber wawancara bersama Perangkat Desa. Tulisan ini digunakan dalam lomba Sejarah Desa tahun 2022.



inilah bukti Candi Lemah Duwur Blora merupakan Kembaran Candi Kalasan Jogja

Desa Getas Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora Jawa Tengah. Wilayah ini menyimpan sejarah besar dalam perkembangan peradaban manusia. Situs candi Lemah duwur misalnya, Bangunan Candi yang pada awalnya dianggap sebagai bangunan pemakaman ini memiliki keunikan, yakni adanya Makara dan ukiran Medallion.




Makara adalah unsur bangunan candi yang merupakan makhluk mitologi dalam kepercayaan hindu budha, dan biasanya diletakkan disisi depan pintu masuk sebuah candi. Serta hal ini menunjukkan bahwa ukuran candi ini, konon pastilah megah dan besar. Warga sekitar juga sering menemukan benda-benda kuno secara tidak sengaja di sekitar candi ini.

Tak heran, konon tempat ini menjadi sesuatu yang sakral dan angker oleh banyak orang, kami hingga 2 kali mengunjungi tempat ini karena seluruh dokumentasi kami hangus tak berbekas, Hingga kami harus, menggelar ritual khusus untuk kulo nuwun. 

Untuk mencapai lokasi, kami melalui rute Ngawi-Pitu menuju wilayah hutan jati blora sisi selatan. Kondisi jalan memang sangat ekstrim. Jika musim kemarau sangat berdebu, dan jika musim penghujan akan lebih sangat licin dan benar-benar menguras energi.

Tetapi, jalur desa cantel-getas lah satu-satunya rute jalan termudah yang bisa dilalui, meski kami butuh waktu 2 jam dari Ngawi. Jalan ini hanya bisa dilalui dengan sepeda motor atau truk.

Candi lemah duwur disebut juga candi Pakuwojo dan masyarakat sekitar biasa menyebutnya Watu Jaran. Candi yang kini dalam kondisi miris tak terawat ini, diambang kerusakan dan terancam hilang artefak dan benda-benda kunonya. Candi ini diketemukan secara tidak sengaja saat mencangkul di ladang tersebut pada tahun 1980-an. Setelah tahun 2015, barulah di didirkan cungkup untuk melindunginya. Namun kini cungkup atau bangunan beratap itu telah rusak dan ambruk. Dahulu memang banyak sekali benda-benda kuno dan artefak ditemukan disini. Batu-batu berukuran besar yang merupakan bagian candi juga ditemukan. Namun, seiring waktu artefak-artefak kuno ini banyak yang hilang dan rusak.



Tempat ini konon juga dianggap angker karena diduga sebuah pemakaman, namun, ternyata setelah diteliti adalah bangunan candi yang besar dan megah sebagai tempat pemujaan.

kami memang banyak menemukan pecahan bongkahan batu-batu kuno bekas candi yang berserakan di sekitar lokasi. Hal ini menguatkan dugaan bahwa, kemungkinan besar candi ini dahulu benar-benar megah, meski terbuat dari batu lokal.

Dugaan bahwa candi ini konon megah dan besar, dikuatkan dengan adanya makara yang masih nampak terlihat jelas. Makara merupakan unsur bangunan Candi, biasanya diletakkan disisi depan pintu masuk. Makara adalah makhluk dalam Mitologi Hindu atau Buddha, yang digambarkan sebagai kombinasi antara Ikan dan gajah yang dikenal dengan Gajahmina dengan variasi tertentu dengan mulut terbuka lebar. Wujud hewan Gajah masih terlihat jelas dengan bentuk belalai dengan ujung ukel. Ukiran mata terbuka dan mulut yang menganga. Adanya Ukiran berupa Insang sebagai gambaran dari binatang ikan pada samping kiri dibagian belakang telinga. Sebuah Makara yang lengkap mempunyai hiasan ukiran pendamping yang berada di samping yang dapat berupa ukiran manusia, dan bunga. Salah satu yang istimewa pada Situs candi lemah duwur ini adalah adanya sebuah ukiran bentuk Medallion di sebelah belakang Makara. 

Medallion ini berupa Lingkaran dengan bentuk tumbuh-tumbuhan atau sebuah bunga. Yang hanya ditemukan kemiripan pada medallion candi Kalasan. 

Penyandingan ini bertujuan menggugah semangat para peneliti, pecinta sejarah serta pihak terkait untuk mengungkap misteri candi lemah duwur ini. Jika, dugaan candi lemah duwur ini besar dan megah ternyata benar, betapa miris akan kondisinya sekarang apalagi dikemudian hari, jika tidak segera diselamatkan.

Warga juga mengisahkan tentang dahulu banyak ditemukan emas perhiasan di lokasi itu. Batu-batu besar juga. Ada yang mirip jaran atau kuda yang besar. Namun sekarang hilang, rusak atau hancur. Hilang karena dicuri dan dijual oleh oknum, rusak dan hancur karena kurangnya perawatan dan perlindungan dari pengaruh cuaca. Warga menambahkan bahwa, banyak kejadian membawa benda dari lokasi itu pastilah akan sakit parah, meninggal ataupun terkena kutukan.


Di wilayah ini juga terdapat prasasti batu tulis yang terpahat RAGANAYA atau RAGADAYA yang juga dapat berarti 1269 Saka atau 1347 M. 
Sayangnya, prasasti ini terjadi \ pengrusakan yakni dengan mencorat-coret dengan  menambah tulisan lain. Mengaburkan gambar matahari dengan gambar bulan serta hilangnya tembikar-tembikar halus di sekitar prasasti ini. Warga sekitar menyebut prasasti ini dengan Watu Tulis atau Batu Tulis. Bangunan cungkup yang melindungi prasasti ini juga sudah mulai rusak dengan kondisi genting yang pecah.

Disebelah batu tulis ini juga terdapat batu lain yang lebih pendek, besar kemungkinan batu ini telah pecah atau patah. Sehingga tulisan yang terpahat tak lagi ditemukan. Keberadaan Prasasti ini menurut warga memang tak tahu pasti kapan diketemukan. Karena  batu ini telah ada sejak lama. Terlebih Desa Getas sendiri berada di tengah hutan dengan medan jalan yang sangat ekstrim, sekitar 60 kilometer dari pusat kota blora. Hal ini, menjadikan peneliti maupun pecinta sejarah kesulitan untuk banyak mencari sumber atau mengaksesnya.

Situs Candi Lemah Duwur dan Prasasti Genjeng meninggalkan hikmah bahwa perlunya menjaga dan merawat keberadaan benda purbakala sebagai media pembelajaran betapa sangat berartinya nilai sejarah bagi jati diri generasi penerus. Bukan berarti melestarikan kesyirikan, namun goresan sejarah menjadikan tamparan bahwa kita hidup pada zaman sekarang adalah karena adanya sejarah di masa lampau dan kita harus mengambil hikmah dan pesan dari sejarah itu sendiri. 


Petilasan Paku Alam di Ngawi dan Pohon Jati Raksasa di Dusun Pakulan Rejuno

Paku Alam adalah seorang tokoh dari kerajaan Mataram di Yogyakarta. Tokoh yang terkenal akan kesaktian dan konsistensinya untuk tidak mau diajak bekerja sama dengan Belanda dalam hal menguasai kekayaan alam nusantara. Belanda yang terkenal dengan akal liciknya mencoba mempengaruhi Paku Alam agar tergoda akan rayuan. Namun, Paku Alam tetap menolak untuk mengkhianati bangsanya sendiri. 
Merasa kesal, Belanda mengancam membunuh Paku Alam dengan senapan dan berbagai strategi. Tak mudah untuk membunuh seorang Paku Alam. Maka, Belanda menemukan cara untuk membunuh Paku Alam yakni dengan menyiapkan peluru emas agar dapat menembus tubuh Paku Alam. Paku Alam akhirnya meloloskan diri ke hutan dan sampailah di wilayah Ngawi sebelah Timur. Tepatnya di Desa Rejuno Kecamatan Karangjati Kabupaten Ngawi. Disinilah Paku Alam dan beberapa abdinya menyembunyikan jati dirinya. Di bawah Pohon Jati yang sangat besar, Paku Alam menepi. Hingga menurut kisah, Paku Alam hilang secara tak kasat mata. 
Tempat beristirahat Paku Alam ini oleh masyarakat disebut Petilasan Paku Alam yang populer disebut Petilasan Jati Mboja. Lidah orang jawa yang sering mengucap Paku Alam dengan Pakulan telah membuat wilayah ini dikenal dengan Dusun Pakulan.
Di Petilasan Jati Mboja ini, terdapat pohon jatiyang berukuran raksasa. Jika anda merangkulnya maka anda tak dapat menggapai sisi-sisinya karena diameter dari pohon jati yang sangat besar dan menjulang tinggi. Pohon Jati mbah Mboja begitu sebutannya. Di bawah pohon jati ini terdapat seperti makam yang oleh warga dianggap sebagai petilasan Paku Alam.
Nah, berikut ini adalah video dari Petilasan Paku Alam yang ada di Ngawi


Keywords :
Asal-usul Pakulan
Asal-usul Rejuno
Pohon Jati Besar
Pohon Jati Unik
Pohon Jati Aneh
Sejarah Paku Alam di Ngawi
Petilasan Paku Alam
Jejak Paku Alam
Makam Mbah Mboja
Mbah Mbojo
Jati Arjuna

Keunikan Lumpang Kentheng " Batu Lumpang yang tidak bisa dipindahkan " di Desa Bringin Kabupaten Ngawi

Lumpang adalah sebuah alat yang terbuat dari batu atau kayu berlubang tengah yang digunakan untuk menumbuk padi. Pasangan dari lumpang ini adalah Alu. Namun, Batu Lumpang yang ada di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Ngawi ini memiliki keunikan. Lumpang Batu ini telah ada ratusan tahun yang lalu. Lumpang batu ini terdiri dari dua buah yang berada di sisi kanan dan kiri jalan. Namun, menurut warga setempat Lumpang batu yang bertuah adalah lumpang batu yang berada di sebelah timur jalan.
Menurut Mbah Suminem yang juga warga setempat menuturkan "Konon memang lumpang batu ini bermaksud untuk dipindahkan dan dirawat salah seorang warga, tetapi keesokan harinya lumpang batu ini kembali ke tempat semula".  Lumpang batu ini menurutnya tidak digunakan untuk menumbuk padi atau beras dan sejenisnya, tetapi digunakan untuk upacara adat nenek moyang pada zaman dahulu. "Lumpang ini konon berukuran lebih kecil, tetapi seiring waktu berubah menjadi besar dan sekarang sudah tidak bisa berubah ukuran lagi", imbuhnya.

Setiap tahun, di lokasi ini juga menggelar acara selamatan ketika musim tanam tiba. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur dan permohonan kepada Sang Pencipta agar diberikan keberkahan dan dijauhkan dari bencana. Biasanya, acara ini digelar pada saat hari Jum'at Pahing dengan diikuti semua warga.
Senada dengan hal itu, Pak Damin juga menuturkan bahwa kemungkinan lumpang ini sudah ada sejak zaman kerajaan jawa.  Beberapa orang juga sering nyekar atau memberikan bunga di lokasi ini dengan tujuan ngalap berkah kepada Tuhan.
Dahulu memang tak banyak orang mengetahui keberadaan dua buah lumpang ini, karena sekilas nampak tidak begitu kelihatan. Mengingat Lumpang Batu ini termasuk situs kekayaan budaya yang sangat berharga, Pemerintah Desa setempat berinisiatif memugar dan membangun lokasi ini agar tetap terpelihara dan terawat. Sehingga anak cucu dan generasi mendatang mengetahui sejarahnya. Terlebih lagi seiring modernisasi menggerus nilai-nilai moral dan budaya asli.
Berikut ini adalah link Video Lumpang Kentheng atau Lumpang Batu di Kabupaten Ngawi



Jumlah Lumpang Kentheng atau Lumpang Batu yang tersebar di Pulau Jawa memang banyak sekali. Namun, hal tersebut juga tak lepas dari maraknya pencurian dan perdagangan benda-benda kuno bersejarah. Maka perlu kesadaran dari kita semua untuk menjaga warisan budaya dan kekayaan tradisi agar tetap lestari.
Jangan lupa berikan komentar, kritik dan sarannya pada kolom di bawah, agar menuju lebih baik.

Puluhan Batu Arca Hilang di Situs Gunung Reco Kec. Kasreman Kabupaten Ngawi "Bertanda Patok VOC Zaman Belanda"

Gunung Reco, adalah sebuah lokasi yang termasuk dalam wilayah Desa Kasreman Kecamatan Kasreman Kabupaten Ngawi. Di Gunung ini konon ditemukan banyak patung-patung / arca Budha yang menurut beberapa sumber merupakan peninggalan kejayaan masa Hindu-Budha. Sehingga tak aneh jika tempat ini di sebut Gunung Reco, mengingat secara istilah Reco berarti Arca.




Dibawah kaki guung terdapat sebuah pundhen (tempat sesembahan) yang oleh masyarakat disebut Pundhen Mbah Budha. Disini terdapat tiga buah patung arca Budha yang hingga sekarang hanya tersisa satu buah. hal ini karena maraknya pencurian arca-arca dan batu-batu bersejarah oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Menurut juru rawat pundhen, yang akrab disapa Mas Agus, di tempat ini banyak sekali penampakan kerbau-kerbau yang oleh masyarakat disebut Kebondanu. Kebondanu adalah sosok kerbau misterius yang masih erat hubungannya dengan keraton Mataram. Suatu keanehan yang mungkin sulit diterima akal sehat adalah masyarakat disini memelihara kerbau tanpa pejantan namun bisa beranak. Hal ini karena adanya sosok Kebondanu yang dipercaya menjadi penyebabnya. Dan jika memelihara kerbau jantan, maka kerbau jantan tersebut akan sakit-sakitan, bahkan bertindak tidak sewajarnya tanpa bisa dikendalikan alias gila. Beberapa warga dan peziarah memang sering melihat penampakan dari kerbau (Kebondanu) ini. Masyarakat disini juga tidak berani memelihara ikan dalam kolam, hal ini dikarenakan seringkali didapati ikan-ikan mengambang diatas air karena kolam dijadikan tempat mandi (gupak) oleh rombongan Kebondanu. Hanya warga yang berjarak agak jauh dari Pundhen inilah yang berani memelihara ikan dalam kolam.
Jika kita naik ke atas Gunung Reco, kita harus berjalan dari sisi utara gunung dan sedikit membutuhkan tenaga ekstra untuk mencapai puncaknya. Dipuncak inilah terdapat patung-patung arca (reco) Budha yang sekarang hanya tinggal bekas-bekas cerita, karena patung-patung tersebut juga dicuri dan dijual hingga habis. Namun, tepat dipuncak gunung Reco ini terdapat patok atau Tanggulasi  bertanda BW 83 dan bertuliskan VOC. Patok ini dibuat pada zaman Belanda untuk menandai bahwa ditempat ini terdapat sesuatu.
Mengapa sesuatu ?
Mengapa jumlahnya tidak hanya satu ?
Mengapa Patok ini juga ditemukan lagi disebelah utara +- 500 m dari gunung ini, tepatnya di petilasan Joko Tarub ?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sangat mengganggu fikiran saya. Mungkinkah di setiap tanda-tanda ini menyimpan sesuatu misteri ?
Menurut masyarakat, memang di Gunung ini selain sebagai situs Arca Budha juga ditemukan Intan / emas. Yang menurut cerita emas/ Intan ini dahulunya sebagai tumbal agar gunung ini tidak meletus. (mirip dengan cerita Gunung Lawu). Sehingga tak heran jika hingga sekarang banyak peziarah ditempat ini yang berburu intan tersebut. Jika kita berjalan ke timur dari puncak yang berpatok BW 83 tersebut, terdapat dua buah batu besar yang jika kita naik ke atas batu tersebut kita bisa melihat pemandangan yang menakjubkan.
Saya yang mengunjungi tempat inipun merasa takjub akan kekayaan budaya lokal nenek moyang kita. Tetapi sayang, banyaknya arca yang seharusnya menjadikan destinasi dan bukti sejarah bagi anak cucu kita justru diperjualbelikan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Berikut adalah Video Situs gunung reco di Kasreman Ngawi.

Jangan lupa berikan like dan komentar anda, sebagai masukan agar kami terus dapat membangun blog ini dan mengangkat lokasi-lokasi lainnya agar anak cucu kita kelak mengetahui sejarah.

Situs Gunung Reco
Pundhen Mbah Budha Kasreman
Kebondanu
Asal-usul Gunung Reco
Kasreman Ngawi
Kecamatan Kasreman
Misteri Intan  Pusaka Gunung Reco


Misteri Watu Lawang “Batu Aneh” di Desa Dero Kecamatan Bringin Kabupaten Ngawi



Watu yang dalam bahasa Indonesia berarti Batu, dan Lawang yang berarti Pintu merupakan salah satu tempat yang dianggap mempunyai kekuatan mistis bagi warga sekitar. Watu Lawang merupakan dua buah batu besar yang terletak di Desa Dero, tepatnya Dero Lor atau sebelah selatan Waduk Pondok Kecamatan Bringin Kabupaten Ngawi.
Tempat ini sudah ada sejak jaman dahulu, yang menurut warga sekitar sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Batu yang terbentuk ini merupakan pintu ghaib menuju Gunung Pandan. Beberapa orang bahkan mempunyai kepercayaan bahwa tempat ini menyimpan berbagai tuah. Diantaranya, untuk penglarisan, kelancaran usaha dan sebagainya. Hal ini bisa dilihat dari bekas bunga yang digunakan untuk nyekar di tempat ini. Kami sempat bertanya kepada pencari rumput yang kebetulan berada dilokasi ini. Menurutnya, barang siapa mempunyai niatan jelek atau tidak sopan di tempat ini maka tidak bisa untuk melewati/ melintas dan berjalan di antara dua batu tersebut. Suasana yang sepi menambah rasa angker di tempat ini. Bahkan, anak-anak kecil dilarang untuk bermain-main di tempat ini karena menurut mitos si anak akan kesurupan ataupun hilang di bawa makhluk ghaib.
Untuk menuju lokasi ini, kita dapat melewati jalan Dusun Kaliwangon, Desa Dero lurus ke arah utara. Namun, akses jalan tidak dapat dilewati dengan sepeda motor. Kita harus berjalan kaki menyusuri pinggiran sungai anak bendungan Waduk Pondok. Setelah anda berjalan kaki sekitar 1 km, maka nampak dari kejauhan Pohon rimbun yang tumbuh di atas watu (batu) ini. Memang pada zaman dahulu lokasi ini berada di antara hutan lebat. Namun, sekarang pohon-pohon yang menutupinya sudah tidak ada.
Dari lokasi Watu Lawang ini, jika kita berjalan lurus ke arah utara maka kita akan bertemu dengan Sendang atau Beji yang merupakan sumber mata air keramat di area Waduk Pondok. Pemandangan di sekitar lokasi ini cukup lumayan bagus dan kita juga bisa membawa peralatan memancing untuk sekedar melampiaskan hobi di sungai dekat Watu Lawang.
Semoga informasi ini dapat menambah wawasan dan menjadi alternatif kunjungan wisata anda. Berikan like dan komentar tentang Watu Lawang ini di kolom komentar. Jangan lupa share jika informasi ini bermanfaat dan menambah wawasan anda.
Berikut adalah Video Misteri Watu Lawang :