Dhawuh 1
Saya adalah mursyid tunggal Dzikrul
Ghofilin.
“Lho, Gus kok berkata begitu
bagaimana dengan farid dan syauki..?” tanya Gus Ali sidoarjo.”mereka hanya
meramaikan saja”, jawab Gus Miek.
Dhawuh 2
Demi Allah, saya hanya bisa menangis
kepada Allah, semoga sami’in yang setia, pengamal Dzikrul Ghofilin, semua
maslah-masalahnya tuntas diperhatikan oleh Allah.
Dhawuh 3
Bila mengikuti Dzikrul Ghofilin,
kalau tidak tahu artinya yang penting hatinya yakin.
Dhawuh 4
Barusan ada orang bertanya: Gus,
Dzikrul Ghofilin itu apa..? saya jawab: “Jamu”.
Dhawuh 5
Dzikrul Ghofilin itu senjata
pamungkas, khususnya menghadapi tahun 2000 ke atas
Dhawuh 6
Ulama sesepuh yang dikirimi fatihah
oleh orang-orang yang tertera atau tercantum dalam Dzikrul Ghofilin itu yang akan
saya dan kalian ikuti di akhirat nanti.
Dhawuh 7
Dekatlan kepada Allah..! kalau tidak
bisa, dekatlah dengan orang yang dekat denganNya.
Dhawuh 8
Kemanunggalan sema’an Al Qur’an dan
Dzikrul Ghofilin adalah sesuatu yang harus di wujudkan oleh pendherek, pimpinan
Dzikrul Ghofilin, dan jama’ah sema’an Al Qur’an. Sebab antara sema’an Al Qur’an
kaliyan Dzikrul Ghofilin ingkang sampun dipun simboli kaliyan fatihah miata
marroh ba’da kulli shalatin, meniko berkaitan manunggal.
Dhawuh 9
Semoga Dzikrul Ghofilin ini menjadi
ketahanan batiniah kita, sekaligus penyangga kita di hari Hisab (hari
perhitungan amal). Itulah yang paling penting..!
Dhawuh 10
Nuzulul Qur’an yang bersamaan dengan
turunnya hujan ini, semoga menjadi isyarat turunnya petunjuk kepada saya dan
kalian semua, seperti firman Allah: “Ulaika ‘ala hudan min rabbihim wa ulaika
hum al-muflihun” (Mereka telah berada di jalan petunjuk , dan mereka adalah
orang-orang yang beruntung).
Dhawuh 11
Barusan ada orang yang bertanya:
Gus, bagaimana saya ini, saya tidak bisa membaca Al Qur’an..? saya jawab:
“Paham atau tidak, yang penting sampean datang ke acara sema’an, karena
mendengarkan saja besar pahalanya”.
Dhawuh 12
Sejak sekarang, yang kecil harus
berpikir: kelak kalau besar, aku besar seperti apa, yang besar harus berpikir,
kalau tua kelak, aku tua seperti apa, yang tua juga harus berpikir, kelak kalau
mati, aku mati dalam keadaan seperti apa.
Dhawuh 13
Dalam sema’an ada seorang pembaca Al
Qur’an, huffazhul Qur’an dan sami’in. Seperti ditegaskan oleh sebuah hadits:
Baik pembaca maupun pendengar setia Al Qur’an pahalanya sama. Malah di dalam
ulasan tokoh lain dikatakan: pendengar itu pahalanya lebih besar daripada
pembacanya. Sebab pendengar lebih main hati, pikiran, dan telinganya. Pendengar
dituntut untuk lebih menata hati dan pikirannya dan lebih memfokuskan
pendekatan diri kepada Allah.
Dhawuh 14
Satu-satunya tempat yang baik untuk
mengutarakan sesuatu kepada Allah adalah majelis sema’an Al Qur’an. Hal ini
tertera di dalam (kalau tidak salah) tiga hadits. Antara lain Man arada an
yatakallam ma’a Allah falyaqra’ Al Qur’an (siapa ingin berkomunikasi dengan
Allah, hendaknya ia membaca Al Qur’an).
Dhawuh 15
Seorang yang ikut sema’an
berturut-turut 20 kali saya jamin apa pun masalah yang sedang dihadapinya pasti
akan beres/tuntas.
Dhawuh 16
Ada seorang datang kepada saya:
“Gus, problem saya bertumpuk-tumpuk, saya sudah mengikuti sema’an 19 kali, tinggal
1 kali lagi, kira-kira masalah saya nanti tuntas atau tidak..?” saya jawab:
“yang sial itu saya, kok bertemu dengan orang yang mempunyai masalah seperti
itu.”
Dhawuh 17
Saya sendiri sebagai pencetus
sema’an Al Qur’an ternyata kurang konsekuen, sementara sami’in datang dari
jauh, bahkan hadir sejak subuh, mulai surat Al fatihah dibaca sampai berakhir
setelah doa khotmil Qur’an malam berikutnya baru mereka pulang. Sedang saya
ini, baru datang kalau sema’an Al Qur’an akan diakhiri. Itu pun tidak pasti.
Terkadang saya berpikir, saya ini seorang yang dipaksakan untuk siap dipanggil
kiai.
Dhawuh 18
Berapa yang hadir setiap sema’an?
Jangan lebih lima persen. Nanti bila sami’innya terlalu banyak, saya hanya
menangis dan membaca Al Fatihah, lalu pulang. Saya sadar, saya tidak mampu
berbuat apa-apa. Jangankan untuk orang banyak, untuk satu orang saja saya tidak
bisa.
Dhawuh 19
Kalau saya nongol, mungkin tak cukup
semalaman. Satu persatu harus dilayani. Saya besok ke mana? Apa yang harus saya
lakukan? Kami tidak punya modal? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan,
Dan, saya dituntut untuk memberikan keterangan yang bisa mereka terima,
setidaknya agak menghibur, dengan lelucon atau dengan pengarahan yang pas.
Dhawuh 20
Semoga sema’an dan Dzikrul Ghofilin
ini kelak menjadi tempat duduk-duduk dan hiburan anak cucu kita semua.
Dhawuh 21
Alhamdulillah, saya adalah yang
pertama memberitahukan kepada “anak-anak” tentang makna dan kegunaan sema’an Al
Qur’an. Di tengah maraknya Al Qur’an diseminarkan dan didiskusikan,
Alhamdulillah masih ada kelompok kecil yang menyakini bahwa Al Qur’an itu
mengandung berkah.
Dhawuh 22
Saya mengambil langkah silang dengan
mengatakan kepada anak-anak yang berkumpu agar sebulan sekali mengadakan
pertemuan, ngobrol-ngobrol, guyon-guyon santai, syukur bisa menghibur diri
dengan hiburan yang berbau ibadah yang menyentuh rahmat dan nikmat Allah.
Kebetulan saya menemukan satu pakem bahwa pertemuan yang dibarengi dengan
alunan Al Qur’an, membaca dan mendengarkannya, syukur-syukur dari awal sampai
akhir, Allah akan memberikan rahmat dan nikmatNya. Jadi, secara batiniah,
sema’an Al Qur’an ini menurut saya adalah hiburan yang bersifat hasnah
(bernilai baik). Juga, pendekat diri kita kepada Allah dan tabungan di hari
akhir. Itu pula yang benar-benar diyakini para pengikut sema’an Al Qur’an.
Dhawuh 23
Di bukit ini terdapat 3 tiang kokoh
(panutan), yaitu (1) Syaikh Abdul Qodir Khoiri, seorang wali yang penuh kasih,
(2) Abdul Sholih As-Saliki, seorang wali yang terus menjaga wudhunya demi
menempuh jalan berkah, (3) Muhammad Herman, ia adalah wali penutup, orang-orang
terbaik berbaur dengannya. Wahai tuhanku, berilah manfaat dan berkah mereka.
Kumpulkan aku bersama mereka.
Dhawuh 24
Mengenai tata krama ziarah kubur,
selayaknya lahir batin ditata dengan baik. Saya juga berpesan, kalau seseorang
berceramah, hendaknya ia tidak meneliti siapa yang dimakamkan, juga riwayat
hidupnya. Setidaknya hal demikian ini hukumnya makruh.
Dhawuh 25
Tiga orang yang tidur ini hidup
sebelum Wali songo. Orang-orang banyak datang kesini. Demikian juga orang-orang
yang sakit, mereka kalau datang ke sini sembuh.
Dhawuh 26
Kelak, bila aku sudah tiada, yang
saya tempati ini (makam tambak) bertambah ramai (makmur)
Dhawuh 27
Saya disini hanya ittiba’(mengikuti)
kiai sepuh, seperti kiai Fattah dan kiai Mundzir. Di sini, dulu pernah dibuat
pertemuan kiai-kiai pondok besar.
Dhawuh 28
Makam ini yang menemukan keturunan
Pangeran Diponegaoro. Dulu, desa ini pernah dibuat istirahat oleh pangeran
Diponegoro. Di desa ini tidak ada shalat dan tidak ada apapun. Keturunan
Diponegoro ini ada dua, yang satu menjadi dukun sunat tetapi kalau berdandan
nyentrik, sedang adiknya jadi pemimpin seni jaranan.
Dhawuh 29
Berbaik sangka itu sulit. Jangankan
berbaik sangka kepada Allah, kepada para wali dan para kiai sepuh saja sulit.
Dhawuh 30
Di tambak itu, kalau bisa bersabar,
akan terasa seperti lautan, dan kalau bisa memanfaatkan, akan banyak sekali
manfaatnya. Tapi kalau tidak bisa memanfaatkan, ia akan bisa menenggelamkan.
Dhawuh 31
Huruf hijaiyah itu ada banyak ada
ba’, jim, dhot, sampai ya’. Demikian juga dengan taraf ilmu seseorang. Ada
orang yang ilmunya cuma sampai ba’, ada orang yang ilmunya sampai jim, ada
orang yang ilmunya sampai dhot saja. Nah, orang yang ilmunya seperti itu tidak
paham kalau di omongi huruf tha’, apalagi huruf hamzah dan ya’.
Dhawuh 32
Saya bukan kiai, saya ini orang yang
terpaksa siap dipanggil kiai. Saya juga bukan ulama. Ulama dan kiai itu beda.
Kiai dituntut untuk punya santri dan pesantren. Ulama itu kata jamak yang
artinya beberapa ilmuwan. Ketepatan saja saya punya bapak yang bisa ngaji dan
punya pesantren. Itu pun tidak ada hubungannya dengan saya yang lebih banyak
berkelana. Dari berkelana itu lahirlah sema’an Al Qur’an. Jadi, hiburan
“anak-anak” dan saya datang bukan atas nama apa-apa. Hanya salah satu pengikut
sama’an Al Qur’an, yang bukan sami’in setia bukan pengikut yang aktif.
Dhawuh 33
Nanti, kalau suamimu berani menjadi
kiai harus sanggup hidup melarat.
Dhawuh 34
Akhirnya (maaf), kita menyadari
bahwa kaum ulama, lebih-lebih seperti saya, dituntut untuk menggali dana yang
lebih baik, dana yang benar-benar halal, kalau kita memang mendambakan ridho
Allah.
Dhawuh 35
Di era globalisasi ini kita dituntut
untuk lebih praktis, tidak terlalu teoretis. Semua kiai dan ulama sekarang ini
dituntut mengerti bahwa dirinya punya satu tugas dari Allah, yakni membawa misi
manusiawi.
Dhawuh 36
Kalau ingin pondok pesantrennya
besar, itu harus kaya terlebih dahulu. Nah, kaya inilah yang sulit.
Dhawuh 37
Pondok pesantren ini, walaupun
kecil, mbok ya biarkan hidup, yang luar biar di luar, yang dalam biar di dalam.
Dhawuh 38
Saya punya pertanyaan buat diri saya
sendiri: mampukah saya mengatarkan “anak-anak?” Sedang ulama saja banyak yang
kurang mampu mengantarkan anak-anak untuk saleh dan sukses. Suksenya diraih,
salehnya meleset. Di dalam pesantren sama sekali tidak diajarkan keterampilan.
Timbul pertanyaan: Bagaimana anak-anak kami nanti di masa mendatang, bisnisnya,
ekonominya, nafkahnya hariannya? Mungkinkah mereka berumah tangga dengan
kondisi seperti ini?.
Dhawuh 39
Mbah, manusia itu kalau punya
keinginan, hambatannya Cuma dua. Godaan dan hawa nafsu. Kuat cobaan apa tidak,
kuat dicoba apa tidak.
Dhawuh 40
Para santri itu lemah pendidikan keterampilannya.
Sudah terlanjur sejak awalnya begitu. Tapi Alhamdulillah, di
pesantren-pesantren seperti Gontor dan pondok pabelan diajarkan
keterampilan-keterampilan. Di sana, keterampilannya ada, tapi wiridannya tidak
ada. Saya senang pesantren yang ada wiridannya.
Dhawuh 41
Sukses dalam studi belum menjamin
sukses dalam hidup. Pokoknya, di luar buku, di luar bangku, di luar kampus,
masih ada kampus yang lebih besar, yakni kampus Allah. Kita harus banyak
belajar. Antara lain belajar dangdut Jawa, belajar tolak berhala, dan belajar
tolak berhala itu sulit sekali! Sulit sekali.
Dhawuh 42
Hidup ini sejak lahir hingga mati,
adalah kuliah tanpa bangku.
Dhawuh 43
Mbah, kamu itu ketika mengaji, jika
dipanggil ayah, ibu atau putra-putra ayah, siapa saja itu, jangan menunggu
selesai mengaji, langsung saja ditaruh kitabnya, lalu menghadap dengan niat
mengaji.
Dhawuh 44
Seorang (santri) yang tak kuat
menahan lapar, bahayanya orang (santri) itu di pondok bisa berani banyak utang.
Dhawuh 45
Mbah, kalau kamu menggantungkan
kiriman dari rumah, kalau belum dikirim jangan mengharap-harap dikirim, semua
sudah diatur oleh Allah.
Dhawuh 46
Sekarang, mencari orang bodah itu
sulit, sebab orang bodoh kini mengaku pintar. Kelak, kalau kamu sekolah,
berlaku bodah saja. Bagaimana caranya? Pura-pura saja, dan harus bisa pura-pura
bodoh. Maksudnya, kamu harus pintar membedakan antara orang bodoh dengan orang
yang pura-pura bodoh.
Dhawuh 47
Dunia itu memang sedikit, tapi tanpa
dunia, seseorang bisa mecicil (blingsatan).
Dhawuh 48
Jadi orang itu harus mencari yang
halal, jangan sampai jadi tukang cukur merangkap jagal.
Dhawuh 49
Miskin dunia sedikitnya berapa, tak
ada batasannya demikian juga kaya dunia. Seorang yang kaya pasti ada yang di
atasnya, seorang yang melarat banyak temannya. Orang kaya pasti ada kurangnya.
Ini adalah ilmu Jawa, tidak perlu muluk-muluk mengkaji kitab kuning.
Dhawuh 50
Kamu memilih kaya-sengsara atau
melarat-terlunta? Maksudnya, kaya-sengsara itu adalah di dunia diganggu
hartanya, sedang di akhirat banyak pertanyaannya.
Dhawuh 51
Gus, tolong saya didoakan kaya.
“kaya buat apa?”, tanya Gus Miek. Buat membiayai anak saya. Royan, kamu tak
usah khawatir, saya berdoa kepada tuhan agar orang selalu baik dan membantu
kamu. Adapun orang yang berbuat buruk atau berniat buruk kepadamu akan saya
potong tangannya. Kelak, dirimu saya carikan tempat yang lebih baik dari dunia
ini.
Dhawuh 52
Royan, kamu ingin kaya ya? Kalau
sudah kaya, nanti kamu repot lho.
Dhawuh 53
Orang kaya yang masuk surga itu
syaratnya harus baik dengan tetangganya yang fakir.
Dhawuh 54
Seorang fakir yang tahan uji, yang
tetap bisa tertawa dan periang. Sedang hatinya terus mensyukuri
keadaan-keadaannya, masih lebih terhormat dan lebih unggul melebihi siapa pun,
termasuk orang dermawan yang 99% hak milinya diberikan karena Allah, tetap saja
masih unggul fakir yang saleh tadi.
Dhawuh 55
Saat memimpin doa pada acara haul
KH. Djazuli Ustman, Gus Miek membaca Ayyuha ad-dunya thallaqtuka fa’anta
thaliqah. (Wahai dunia, aku telah menalak kamu, sungguh aku telah
mentalak kamu). Gus Miek lalu berhenti dan berkomentar:
Doa-doa seperti ini jangan sampai
kalian ikut mengamini, belum mengamini saja sudah senin kemis, apalagi
mengamini, bertambah dalam (terperosok) lagi.
Dhawuh 56
Maaf, kalau saya harus mengatakan:
Anda sebaiknya punya keterampilan. Jangan malu mengerjakan yang kecil, asal
halal. Karena banyak sekali rekanan saya yang malu, misalnya jualan kopi di
ujung sana, di sektor informal. Kok jualan kopi sih? Padahal saya mendambakan
menjadi karyawan bank, biar terdengar keren dengan gaji tinggi. Kok ini? Kata
mereka. Padahal ini halal menurut Allah dan sangat mulia. Sayang, mereka salah
menempatkan, menjaga gengsi di hadapan manusia. Nah, ini tidak konsekuen, ini
terlanjur salah kaprah. Kalau saya mengatakannya secara salah, saya yang
terjepit.
Dhawuh 57
Saya ini kan lain. Walau income
resmi enggak ada, tanah tak punya, tapi ada rekanan yang lucu-lucu. Hingga rasa
tasyakurlah yang lebih berkobar. Bukan rasa kurang atau yang lain.
Dhawuh 58
Ada satu kios kecil yang isi dengan
kebutuhan kampung seperti lombok, beras dan gula, di tempat yang sami’in tidak
tahu. Kios itu saya percayakan pada seseorang. Terserah dia! Dan, tidak harus
untung. Mungkin dia sendiri harus belajar untuk menerima kenyataan. Termasuk
untuk tidak untung.
Dhawuh 59
Jadilah seburuk-buruk manusia di
mata manusia tetapi luhur di mata Allah.
Dhawuh 60
Tidak apa-apa dianggap seperti PKI
tetapi kelak masuk surga.
Dhawuh 61
Hidup itu yang penting satu,
keteladanan.
Dhawuh 62
Kunci sukses adalah bergaul, dan di
dalam bergaul kita harus ramah terhadap siapa saja. Sedang prinsipnya adalah
bahwa pergaulan harus menjadikan cita-cita dan idaman kita tercapai, jangan
sebaliknya.
Dhawuh 63
Segala langkah, ucapan, dan
perbuatan itu yang penting ikhlas, hatinya ditata yang benar, tidak pamrih
apa-apa.
Dhawuh 64
Kalau ada orang yang menggunjing
aku, aku enggak usah kamu bela. Kalau masih kuat, silakan dengarkan, tapi kalau
sudah tidak kuat, menyingkirlah.
Dhawuh 65
Kalau ada orang yang menjelek-jelekkan,
temani saja, jangan menjelek-jelekkan orang yang menjelek-jelekkan. Kalau
memang senang mengikuti sunnah nabi, ya jangan dijauhi mereka itu karena nabi
itu rahmatan lil alamin.
Dhawuh 66
Kita anggota sami’in Dzikrul
Ghofilin khususnya, ayo ramah tamah secara lahir dan batin dengan orang lain,
dengan sesame, kita sama-sama manusia, walaupun berbeda wirid dan aliran. Kita
harus mendukung kanan dan kiri yang sudah terlanjur mantab dalam Naqsabandiyah,
Qodiriyah, atau ustadz-ustadz Tarekat Mu’tabarah. Jangan sampai terpancing
untuk tidak suka, tidak menghormati pada salah satu wirid yang jelas muktabar
dengan pedoman-pedoman yang sudah terang, khusus dan tegas
Dhawuh 67
Tadi ada orang bertanya: Gus, saya
ini di kampung bersama orang banyak. Jawab saya: Yang penting ingat pada Allah,
tidak merasa lebih suci dari yang lain, tidak sempat melirik maksiat orang
lain, dengan siapa saja mempunyai hati yang baik, itulah ciri khas pengamal
Dzikrul Ghofilin.
Dhawuh 68
Era sekarang, orang yang selamat itu
adalah orang yang apa adanya, lugu dan menyisihkan diri.
Dhawuh 69
“Miftah, kamu masih tetap suka
bertarung pencak silat?” Tanya Gus Miek. Lha bagaimana Gus, saya ikut, jawab
Miftah. “Kalau kamu masih suka (bertarung) pencak, jangan mengharap baunya surga.”
Dhawuh 70
Saya lebih tertarik pada salah
seorang ulama terdahulu, contohnya Ahmad bin Hambal. Kalau masuk tempat hiburan
yang diharamkan Islam, dia justru berdoa: “Ya Allah, seperti halnya Kau buat
orang-orang ini berpesta pora di tempat seperti ini, semoga berpesta poralah
mereka di akhirat nanti. Seperti halnya orang-orang di sini bahagia, semoga
berbahagia pula mereka di akhirat nanti.” Ini kan doa yang mahal sekali dan
sangat halus. Tampak bahwa Ahmad bin Hambal tidak suka model unjuk rasa, demonstrasi
anti ini anti itu. Apalagi seperti saya yang seorang musafir, saya dituntut
untuk lebih menguasai bahasa kata, bahasa gaul, dan bahasa hati.
Dhawuh 71
Seorang yang diolok-olok atau dicela
orang lain, apa itu termasuk sabar? Badanya sakit, anaknya juga sakit, istrinya
meninggal, apa itu juga termasuk sabar? Hartanya hancur, istrinya mati, anaknya
juga mati, apa itu termasuk orang yang sudah sabar? Seperti itu tidak bisa
disebut sebagai orang sabar, entah sabar itu bagaimana, aku sendiri tidak
mengerti.
Dhawuh 72
Tadi, ada orang yang bertanya:
periuk terguling, anak-istri rewel, hati sumpek, pikiran ruwet, apa perlu
pikulan ini (tanggung jawab keluarga) saya lepaskan untuk mencari sungai yang
dalam (buat bunuh diri). Saya jawab: Jangan kecil hati, siapa ingin
berbincng-bincang dengan Allah, bacalah Al Qur’an.
Dhawuh 73
Tadi ada yang bertanya: Gus,
bagaimana ya, ibadah saya sudah bagus, shalat saya juga bagus, tetapi musibah
kok datang dan pergi? Saya jawab: mungkin masih banyak dosanya, mungkin juga
bakal diangkat derajat akhiratnya oleh Allah; janganlah berkecil hati.
Dhawuh 74
Orang-orang membacakan Al-Fatehah
untukku, katanya aku ini sakit. Aku ini tidak sakit, hanya fisikku saja yang
tidak kuat karena aktivitasku ini hanya dari mobil ke mobil, dan tidak pernah
libur.
Dhawuh 75
Ada empat macam perempuan yan
diidam-idamkan semua orang (lelaki). Perempuan yang kaya, perempuan bangsawan,
dan perempuan yang cantik. Tapi ada satu kelebihan yan tidak dimiliki oleh
ketiga perempuan itu, yaitu perempuan yang berbudi.
Dhawuh 76
Anaknya orang biasa itu ada yang
baik dan ada yang jelek. Demikian juga anaknya kiai, ada yang baik dan ada yang
jelek. Jangankan anaknya orang biasa atau anaknya kiai, anaknya nabi pun ada
yang berisi dan ada yang kosong. Kalau sudah begini, yang paling baik bagi kita
adalah berdoa.
Dhawuh 77
Di tengah-tengah sulitnya kita
mengarahkan istri, menata rumah tangga, dan sulitnya menciptakan sesuatu yang
indah, sedang tanda-tanda musibah pun tampak di depan mata, semua itu menuntut
kita menyusun ketahanan batiniah, berusaha bagaimana agar Allah sayang dan
perhatian kepada kita semua.
Dhawuh 78
Tadi, ada orang yang bertanya: anak
saya nakal, ditekan justru menjadi-jadi, bagaimana Gus? Nasehat orang tua
terhadap anaknya janganlah menggunakan bahasa militer, pakailah bahasa kata,
bahasa gaul, dan bahasa hati.
Dhawuh 79
Gus, kenapa Anda menamakan anak Anda
dengan bahasa Arab dan non Arab? Begini, alas an saya menamakan dengan dua
bahasa itu karena mbahnya dua; mbahnya di sini santri, mbahnya di sana bukan.
Mbahnya di sini biar memanggil Tajud karena santri, mbahnya di sana yang bukan
santri biar memanggil Herucokro; mbanya di sini biar memanggil sabuth, mbahnya
di sana biar memanggil panotoprojo.
Dhawuh 80
Menurut Anda, bagaimana
sebaik-baiknya busana muslim itu? Jilbab kan banyak dipertentangkan akhir-akhir
ini? Pada akhirnya, seperti penggabungan Indonesia, Siangapura, Malaysia,
Thailand, Brunei, dan Filipina menjadi ASEAN, tidak menutup kemungkinan, ada
bahasa dan busana ASEAN. Sehingga siapa pun dengan terpaksa untuk ikut dan
patuh. Ya, kita sebagai orang tua harus diam kalau itu nanti terjadi, dan kalau
ingin selamat, ya mulai sekarang kita harus berbenah.
Dhawuh 81
Saya kira-kira dituntut untuk lebih
menggalakkan ibadatul qalbi (ibadah dalam hati). Mungkin begitu. Sebetulnya
putrid rekan-rekan ulama juga sudah banya yang terbawa arus; ya sebagian ada
yang masih mengikuti aturan, tetap berjilbab, misalnya. Tetapi ada juga yang
tetap berjilbab karena sungkan lantaran orang tuanya mubaligh. Secara umum,
sudah banyak yang terbawa arus.
Dhawuh 82
Dunia ini semakin lama semakin
gelap, banyak hamba Allah yang bingung, dan sebagian sudah gila. Sahabat Muazd
bin Jabbal berkata: “siapa yang ingat Allah di tengah-tengah dunia yang
ramainya seperti pasar ini, dia sama dengan menyinari alam ini.”
Dhawuh 83
Memiliki lidah atau mulut itu jangan
dibiarkan saja, lebih baik dibuat zikir pada Allah, dilanggengkan membaca lafal
Allah.
Dhawuh 84
Hadirin tadi ada orang yang
bertanya: Gus, pendengar Al Qur’an ini kalau usai shalat fardhu, yang terbaik
membaca apa ya? Saya jawab: Untuk wiridan, kecuali kalian yang sudah mengikuti
sebagian tarekat mu’tabarah, baik membaca Al Fatehah 100 kali. Ini juga menjadi
simbolnya Dzikrul Ghofilin. Resepnya, mengikuti imam Abu Hamid Al Ghazali, yang
juga diijasahnya oleh adiknya, Syaikh Ahmad Al Ghazali.
Dhawuh 85
Trimah, kamu pasti mau bertanya:
Kiai, wiridannya apa, mau bertanya begitu kan? Tidak sulit-sulit, baca shalawat
sekali, pahalanya 10 kali lipat; jangan repot-repot, baca shallallah ‘ala
Muhammad, itu saja, yang penting benar.
Dhawuh 86
Saya punya penyakit yang orang lain
tidak tahu. Saya ini terus terang tamak, takabur yang terselubung, dan
diam-diam ingin kaya. Padahal saya punya persoalan khusu dengan Allah. Artinya,
saya adalah hamba yang diceramahkan, sedang Allah yang sudah saya yakini adalah
sutradara.
Dhawuh 87
Persoalan mengenai hakikat hidup di
dunia masih sering kita anggap remeh. Olih karena itu, sangat perlu dilakukan
sebentuk muhasabah. Sejauh mana tauhid kita, misalnya. Dan, ternyata kita belum
apa-apa. Kita belum menjadi mukmin dan muslim yang kuat.
Dhawuh 88
Taqarrub (pendekatan) kita kepada
Allah seharusnya menjadi obat penawar bagi kita. Apa pun yang terjadi, apa pun
yang diberikan Allah, syukuri saja. Sayang, terkadang kita belum bisa
menciptakan keadaan yang demikian. Kita seharusnya bangga menjadi orang yang
fakir. Sebab sebagian penghuni surga itu adalah orang –orang fakir yang baik.
Dhawuh 89
Dahulu, pada usia sekitar 10 tahun,
saya sering didekati orang,dikira saya itu siapa. Ungkapan orang yang datang
kepada saya itu-itu saja: minta restu atau mengungkapkan kekurangan, terutama
yang berhubungan dengan materi. Perempuan yang mau melahirkan juga datang.
Dikira saya ini bidan. Karena makin banyak orang berdatangan, lalu saya
menyimpulkan: jangan-jangan saya ini senang dihormati orang, jangan-jangan saya
ini dianggap dukun tiban juru penolong atau orang sakti.
Dhawuh 90
Surga itu miliknya orang-orang yang
sembahyang tepat pada waktunya.
Dhawuh 91
Shalat itu, yang paling baik, di
tengah-tengah Al-Fatehah harus jernih pikiran dan hati.
Dhawuh 92
Shalat itu, yang paling baik adalah
berpikir di tengah-tengah membaca Al-Fatehah.
Dhawuh 93
Coro pethek bodon. Di akhirat, bila
berbuat buruk satu, berbuat baik satu itu rugi. Di akhirat, bila berbuat buruk
satu, berbuat baik dua itu rugi. Di akhirat, bila berbuat buruk satu, berbuat
baik tiga itu baru untung.
Dhawuh 94
Kalau kamu ingin meningkat satu
strip, barang yang kamu sayangi ketika diminta orang, berikan saja. Itu naik 1
strip, lebih-lebih sebelum diminta, tentu akan naik 1 strip lagi.
Dhawuh 95
Seorang yang berani melakukan dosa,
harus berani pula bertobat.
Dhawuh 96
Kalau kamu mengerjakan kebaikan,
sebaiknya kau simpan rapat-rapat; kalau melakukan keburukan, terserah kamu
saja: mau kau simpan atau kau siarkan.
Dhawuh 97
Kowe arep nandi Sir? Tanya Gus
Miek.
Badhe tumut ujian, jawab
Siroj.
Kapan? tanya Gus miek.
sak niki, jawab Siroj.
Golek opo?, Tanya Gus Miek
lagi.
“Ijasah,” jawab Siroj juga.
Lho kowe ntukmu melu ujian ki mung
golek ijasah, e mbok sepuluh tak gaekne. Yoh, dolan melu aku.
Artinya:
Kalau kamu ikut ujian hanya untuk
ijasah, sini, mau 10 saya buatkan, ayo ikut saya.
Dhawuh 98
“Kamu mau kemana sir?” Mau ngaji.
“Biar dapat apa?” Biar masuk surga. “jadi, alasan kamu mengaji itu hanya untuk
mencari surga? Jadi, surga bisa kamu peroleh dengan mengaji? Kalau begitu,
sudah kitabmu ditaruh saja, ayo ikut bersama saya ke Malang.
Dhawuh 99
Saya katakan kepada anak-anak,
Dzikrul Ghofilin jangan sampai diiklankan atau dipromosikan sebagai senjata
pengatrol kesuksesan duniawi.
Dhawuh 100
Saya imbau, jangan sampai ada yang
berjaga lailatul Qodar, itu ibarat memikat burung perkutut.
Dhawuh 101
Belum tahun 2000 saja sudah begini;
bagaimana kelak di atas tahun 2000? Dunia ini semakin lama semakin panas,
semakin lama semakin panas, semakin lama semakin panas.
Dhawuh 102
Saya senang orang-orang Nganjuk
karena orangnya kecil-kecil. Ini sesuai sabda nabi: “Orang itu yang baik berat
badannya 50.” Juga, ada sabda lain yang menguatkan : “Orang paling aku cintai
di antara kalian adalah orang yang paling sedikit makannya.” Ini sesuai firman
Allah: Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan rasa lapar
dan mengamankan mereka dari rasa takut (QS. Quraiys: 4).
Lapar adalah syarat untuk
menghasilkan tujuan. Maka, siapa tidak senang lapar, ia bukan bagian dari ahli
khalwat (menyendiri).
Dhawuh 103
Miftah, kalau kamu nanti sudah
pulang dari mondok, jangan suka menjadi orang terdepan.
Dhawuh 104
Biarkan dunia ini maju. Akan tetapi,
bagi kita umat Islam, akan lebih baik kalau kemajuan di bidang lahiriah dan
umumiyah ini dibarengi dengan iman, ubudiyah, serta sejumlah keterampilan
positif. Jadi, memasuki era globalisasi menuntut kita untuk lebih meyakini
bahwa shalat lima waktu itu, misalnya, adalah senam atau olah raga yang paling
baik. Setidak-tidaknya, bagi orang Jawa bangun pagi itu tentu baik. Apalagi kita
yang mukmin. Dengan bangun pagi dan menyakini bahwa kegiatan shalat Subuh
adalah senam olah raga yang paling baik, otomatis kita tersentuh untuk bergegas
selakukan itu.
Dhawuh 105
Sir, kalau kamu mau bertemu aku,
bacalah Al-Fatehah 100 kali.
Dhawuh 106
Kalau mau mencari aku, di mana dan
kapan saja, silakan baca surah Al-Fatehah.
Dhawuh 107
Mbah, kalau kamu mau bertemu aku,
sedang kamu masih repot, kirimi saja aku Al-Fatehah, 41kali.
Dhawuh 108
Mencari aku itu sulit; kalau mau
bertemu dengan aku, akrablah dengan keluargaku, itu sama saja dengan bertemu
aku.